Mengapa PLN anti dengan PLTS Atap?

Kementrian ESDM berencana merevisi peraturan terkait PLTS Atap. Dalam rencananya, pemilik PLTS Atap tidak lagi diperbolehkan menjual/ekspor listrik ke jaringan. Penghapusan net metering dengan kata lain mengharuskan pemilik PLTS Atap mengkonsumsi sendiri listrik yang dihasilkan. Tentunya rencana ini mendapat protes keras dari pengusaha EPC PLTS yang bisnisnya terdampak. Tanpa adanya skema ekspor listrik, PLTS Atap menjadi tidak ekonomis. Jika benar diterapkan, aturan ini berpotensi mematikan masa depan PLTS Atap di Indonesia (Kompas, Tempo, CNBC Indonesia).

Danny Kusuma
6 min readMar 13, 2023

Lika liku PLTS Atap di Indonesia

Terlepas dari respon dan keinginan masyarakat yang cukup tinggi untuk mengadopsi PLTS Atap, aturan mengenai sektor ini tidak pernah memuaskan. Jika dilihat dari trennya, PLTS Atap melalui berbagai hambatan. Ketentuan yang dianggap memberatkan antara lain pembatasan kapasitas, pembatasan nilai ekspor listrik, dan juga biaya kapasitas.

Perkembangan regulasi PLTS Atap di Indonesia menunjukkan perburukan dan tidak mendukung terciptanya iklim bisnis yang kondusif. Terlihat cukup jelas bahwa PLN-lah yang tidak menghendaki masyarakat mengadopsi PLTS Atap. Berdasarkan laporan, PLN menghambat izin pemasangan dan membatasi kapasitas maksimal yang boleh dipasang (Katadata, Kontan).

Peraturan PLTS Makin Memburuk

Konflik kepentingan PLN terkait PLTS Atap

Tidaklah sulit dipahami bagi masyarakat umum bahwa dengan semakin banyaknya pemasangan PLTS Atap akan mengurangi pendapatan PLN. Isu ini menjadi krusial karena 98% pendapatan PLN (diluar subsidi Pemerintah) berasal dari penjualan listrik (Statistik PLN 2021). Dengan kata lain, menjamurnya PLTS Atap sama dengan tergerusnya market share PLN. Bahkan ESDM telah mengakui potensi kerugian ini dalam kajiannya (ESDM, 2021).

Estimasi Pendapatan PLN Dengan Bertambahnya PLTS Atap

Jika ditelisik lebih dalam, kondisi ini menjadi lebih buruk bagi PLN karena segmen / kelompok pelanggan menegah keatas-lah (R-2 dan R-3) yang menjadi first adopter PLTS Atap. Ruginya bagi PLN, segmen ini membayar tarif listrik paling tinggi dibanding yang lain. Selain itu, segmen pelanggan bisnis dan industri juga diprediksi akan menjadi first adopter mengingat keuntungan ekonomis dengan pemasangan PLTS, disamping portfolio pengurangan emisi yang didapatkan. Secara total, lebih dari setengah dari pendapatan PLN berasal dari segmen-segmen ini dan terancam tergerus oleh PLTS Atap.

Penjualan Listrik PLN pada 2021 per Kelompok Pelanggan

Alasan PLN yang tidak logis

Di media, PLN mengeluhkan integrasi PLTS Atap ke jaringan listrik. Alasan yang sering dilontarkan adalah saat ini jaringan Jawa-Bali sedang kelebihan pasokan listrik (oversupply). Tambahan pasokan dari PLTS Atap akan menambah parah kondisi oversupply ini (Listrik Indonesia).

Menurut saya alasan ini tidak masuk akal. Kita bisa saja dengan kritis bertanya: 1) Jika oversupply terjadi di Jawa, mengapa tidak dibebaskan adopsi PLTS Atap di pulau lain? 2) Mengapa dalam kondisi oversupply, rencana integrasi PLTU Batubara dan pembangkit fosil lain masih tinggi dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021–2030? 3) PLN juga bisa menutup operasi pembangkit tua yang boros, yang mana lebih mahal dari ongkos operasi PLTS Atap. 4) Terakhir, dengan kondisi oversupply, idealnya PLTS atap diizinkan dengan kuota yang semakin tinggi tiap tahun (karena oversupply berkurang dengan pertumbuhan populasi dan ekonomi).

Hal lain yang kerap menjadi alasan adalah ketakutan bahwa masuknya PLTS Atap akan menganggu kestabilan jaringan. PLTS menghasilkan listrik dengan karakterisktik intermittent, artinya output listrik berfluktuasi dan tidak dapat diprediksi. Kapasitas PLTS yang terlalu besar ditakutkan mengakibatkan fenomena pola beban duck curve, dimana diperlukan kapasitas ramp-up dari pembangkit lain yang cukup besar ketika output PLTS tiba-tiba hilang (karena cuaca atau ketika matahari tenggelam) (Wikipedia).

Walaupun isu teknis ini benar adanya (jika total kapasitas PLTS cukup signifikan terhadap system kelistrikan), menurut saya hal ini tidak layak dijadikan alasan. Dengan komitmen pemerintah menuju Net Zero Emission (NZE), sudah saatnya PLN mempersiapkan masuknya Renewable Energy (RE), yakni dengan berinvestasi kearah penguatan jaringan listrik dan energy storage. Faktanya, isu teknis ini sudah bisa diselesaikan oleh negara-negara lain yang porsi/penetrasi Variable RE-nya cukup tinggi dalam sistem kelistrikan. Tidak perlu jauh-jauh hingga ke Eropa, kita bisa belajar dari negara tentangga ASEAN, seperti Vietnam yang kapasitas PLTS nya lebih dari 10 GWp (climate-chance.org).

Pro Kontra PLTS Atap

Isu TKDN, andalan ekonom

Argumen lain dari pihak yang tidak menghendaki PLTS (secara umum, tidak hanya PLTS Atap) adalah terkait Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Saat ini, komponen solar panel sebagian besar masih diimpor. Produksi dalam negeri hanya mampu melakukan assembly (sedangkan PV cell-nya impor). Pihak-pihak tersebut berpendapat bahwa sekarang belum saatnya PLTS dikembangkan karena tidak memberikan dampak ekonomi bagi Indonesia.

Well, menurut saya ini sangat subjektif. Jika menunggu 100% TKDN dimana lokal bisa memproduksi solar panel dari hulu ke hilir, bisa jadi transisi energi sama sekali tidak terjadi. Faktanya, banyak sekali produk, apalagi teknologi (smartphone, elektronik, dll) yang masih impor dan pemerintah berikan izin impornya.

Kita bisa belajar dari perkembangan industri otomotif dalam negeri. Pada awalnya, motor/mobil diimpor utuh dari luar negeri. Kemudian dengan naiknya demand, mulai muncul pabrik assembly walaupun komponen masih impor. Lambat laun, muncul supplier lokal untuk komponen sederhana seperti bodi, interior, dll. Saat ini, Indonesia bisa memproduksi motor/mobil sepenuhnya dalam negeri.

Ironinya, untuk industri baru yang “disukai”, seperti industri baterai / nikel, pemerintah jor-joran untuk mengejarnya. Padahal kalau kita telisik lebih dalam, teknologi untuk industri ini sebagian besar impor (contohnya RKEF dari China). Bahkan menggunakan Tenaga Kerja Asing (TKA) yang jumlahnya signifkan (Bisnis.com). Kontribusi Indonesia dalam industri ini masih sekedar tanah yang mengandung bijih nikel saja.

Jadi, apakah PLTS Atap harus kita dorong?

Menurut saya ada 3 argumen utama perlunya mengembangkan sektor PLTS Atap di Indonesia. Tiga argumen ini jarang menjadi dasar pertimbangan bagi para pemangku kepentingan.

No cost. PLTS Atap adalah pembangkit yang dibangun dan dibiayai sendiri oleh masyarakat. Ini jelas menyelesaikan kendala besar PLN yang kini tidak mampu membiayai investasi pembangkit. Selain itu, PLTS Atap juga tidak membebani subsidi dari pemerintah.

No area footprint. Masalah utama dari PLTS adalah luasnya area yang diperlukan (10x dari PLTU) yang menyebabkan instalasi PLTS ground-mounted tidak memungkinkan di perkotaan. PLTS Atap menjadi solusi yang elegan untuk suplai listrik di kota-kota besar.

Kemandirian energi bagi masyarakat. Nilai ini sangat filosofis dan mendalam, yang seharusnya menjadi hak asasi bagi masyarakat.

Tentu selain ketiga alasan diatas, ada berbagai manfaat nyata dari PLTS yang kita sudah tahu: sebagai sumber energi bersih, membangun industri baru, membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan energy security dan diversifikasi energi, dll. Seperti yang tertera pada tabel di atas, ESDM juga memberikan keterangan bahwa PLTS Atap memberikan manfaat ekonomi nyata bagi Indonesia (Antaranews.com).

A way forward

Lalu, apa yang bisa kita lakukan agar PLTS Atap di Indonesia berkembang?

Yang pertama, kuncinya ada di skema pricing yang adil antara PLN dan pelanggan PLN. Tidak masalah berapaun kapasitas yang terpasang asalkan secara teknis aman (dibuktikan melalui SLO). Yang sering menjadi dilema adalah penentuan nilai jual ekspor listrik. Menurut saya, agar pricing-nya adil, paling tidak nilainya harus setinggi Biaya Pokok Pembangkitan (BPP) karena pemilik PLTS Atap setara dengan Independent Power Producer (IPP). Kita juga bisa menuntut harga yang lebih fair lagi, dengan cara mengkoreksi/adjusting nilai ekspor dengan biaya yang setara untuk mengkompensasi fluktuasi (misalnya biaya baterai, dll). Bahkan lebih jauh lagi, harga bisa dibuat bervariasi. Ketika demand listrik naik, sewajarnya harga ekspor juga meningkat. Tentunya ini sebanding karena PLN harus menghidupkan pembangkit peaker (PLTG, dll) yang ongkosnya mahal.

Kedua, seluruh pemikiran dan perhitungan ekonomi bahwa PLTS Atap itu merugikan, didasari bahwa saat ini listrik kita disubsidi dan tidak memperhitungkan eksternalitas: dampak iklim dan lingkungan. Jika komponen subsidi disingkirkan dari BPP sedangkan carbon pricing dimasukkan dalam perhitungan, akan terlihat bahwa PLTS Atap sangat menarik karena menjadi salah satu sumber listrik yang paling murah.

Terakhir, isu yang agak susah untuk diselesaikan adalah konflik kepentingan PLN terhadap PLTS Atap. Dari pembahasan diatas, jika PLN dipandang sebagai perusahaan swasta murni, tidak ada insentif sedikit pun bagi PLN untuk mengizinkan PLTS Atap. Masyarakat pemilik PLTS Atap dianggap sebagai kompetitor karena mengambil porsi pendapatan PLN. Menurut saya, isu ini tidak bisa diselesaikan selama PLN memonopoli sistem ketenagalistrikan Indonesia. Idealnya, PLN sebagai perusahaan swasta dan PLN sebagai kepanjangan tangan pemerintah harus dipisah secara entitas. Biarlah PLN sebagai perusahaan swasta mengejar profit sebesar-besarnya, layaknya BUMN lain. Di sisi lain, harus dipisahkan entitas PLN lain yang bersifat non-profit yang bertugas untuk menjaga transmisi dan distribusi listrik saja. Konsep ini dikenal dengan sebutan unbundling (Next-kraftwerke.com). Sayangnya, pembahasan ini sangat sensitif dan selalu diblok alasan konstitusi mengatur bahwa energi harus dikuasai oleh negara.

Akhir kata, tulisan ini hanya analisis singkat yang belum mempertimbangkan berbagai aspek secara komprehensif. Melalui tulisan ini, saya berharap diskusi terkait PLTS Atap semakin konstruktif kedepannya.

--

--

Danny Kusuma
Danny Kusuma

Written by Danny Kusuma

Affordable energy access for all

No responses yet