Merugi dan Oversupply — Kompleksitas PLN yang menghambat perkembangan EBT di Indonesia

Danny Kusuma
7 min readJul 4, 2022

--

Target bauran energi terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025 sudah sejak lama kita dengar. Terlebih lagi, Indonesia sudah memiliki komitmen terdahap mitigasi perubahan iklim dengan meratifikasi Paris Agreement, mengejawantahkannya dalam target NDC dan berkomitment mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060 (ESDM, 2021). Namun pada faktanya, total bauran energi dari PLTSurya, PLTBayu dan PLTBiomas hanya 0,34% di 2020.

Ironinya, PLTU batu bara semakin menguasai bauran energi sektor ketenagalistrikan, dimana persentase kontribusinya meningkat dari 44% (2011) menjadi 66% (2020) (PLN, 2021). Diagram berikut mengambarkan perkembangan bauran energi selama 10 tahun terakhir. Nampak bahwa yang mendominasi adalah proses de-dieselisasi PLTD (yang ongkos bahan bakarnya tinggi) yang digantikan oleh PLTU, bukan dengan EBT.

Mengapa Indonesia sangat lambat dalam mengimplementasikan EBT?

Salah satu penyebab lambatnya pengembangan EBT di sektor ketenagalistrikan adalah kompleksitas masalah yang saat ini dihadapi oleh PLN. Walaupun kebijakan dan regulasi ada di tangan pemerintah (ESDM secara spesifik), namun secara de facto, PLN lah yang memegang peranan penting dalam perencanaan dan implementasi ketenagalistrikan Indonesia. Oleh karenanya, saya mencoba membedah isu-isu di dalam PLN yang berpotensi menghambat implementasi EBT.

Mari kita struturkan isu dalam dua kategori, yakni sisi teknis dan sisi finansial.

TEKNIS — Keterbatasan Jaringan Listrik PLN

  1. Jaringan yang oversupply

Kebutuhan/konsumsi energi listrik berubah dari waktu ke waktu. Di negara berkembang seperti Indonesia dimana populasi dan pendapatan meningkat, terjadi pertumbuhan demand listrik setiap tahun. Hal ini yang mendorong PLN terus menambah kapasitas pembangkit listrik untuk menjamin pasokan. Khusus untuk sistem jaringan Jawa-Bali, diperlukan reserve margin minimal sebesar 25% (kapasitas terpasang lebih besar dari peak demand) untuk menjaga Loss of Load Probability dibawah 1 hari/tahun (Listrik Indonesia, 2021).

Kelebihan pasokan listrik, seolah seperti hal positif dalam kondisi listrik Indonesia yang sering padam. Sebaliknya, ini adalah sebuah isu besar yang saat ini dihadapi PLN. Akibat program 35 GW yang dicanangkan pemerintah pada 2015 meleset dari aktual kebutuhan listrik, saat ini PLN mengalami kondisi oversupply (Katadata, 2022).

Penambahan kapasitas pembangkit baru (baik EBT maupun fosil) tentunya saat ini dihindari oleh PLN. Secara sederhana, kondisi oversupply menunjukan pemborosan selayaknya kita membeli sesuatu yang berlebih namun tidak terpakai.

2. Jaringan yang tidak fleksibel

Seperti yang kita tahu, beberapa jenis pembangkit EBT (PLT Surya dan PLT Bayu, kita sebut EBT intermiten) performanya mengikuti kondisi cuaca setempat, sehingga keluaran dayanya berfluktuasi dan susah diprediksi. Peningkatan penetrasi pembangkit EBT interminten ke dalam sistem jaringan memerlukan fleksibilitas pembangkit lain untuk ramping up/down keluaran dayanya, menyesuaikan keluaran daya EBT yang berfluktuasi.

Pembangkit seperti PLTG dan PLTA memiliki respon cepat, dapat meningkatkan keluaran daya dari nol hingga 100% kapasitas dalam hitungan menit. Namun demikian, PLTU yang mendominasi sistem jaringan Jawa, Sumatra dan Kalimantan, tidaklah fleksibel dan cenderung dioperasikan dalam mode konstan (IEA, 2011).

Pengoperasian jaringan dengan komposisi pembangkit EBT intermiten masih merupakan hal baru bagi PLN. Ketidaksiapan ini terlihat dari grid code (aturan jaringan) yang baru saja diubah pada 2020 (Permen ESDM No 20 tahun 2020) dan baru disosialisasikan pada April 2021. Grid code baru mengatur operasi pembangkit EBT intermiten dan juga pengaturan beban menggunakan fasilitas Automatic Generation Control (AGC).

Sayangnya, hingga saat ini, fasilitas AGC masih belum tersedia, dimana implementasinya masih 37% pada April 2021 (PLN, 2021). Keraguan PLN dalam peningkatan penetrasi EBT juga terlihat dari RUPTL 2021 yang menyebutkan bahwa sistem Sulawesi bagian selatan tidak bisa ditambahkan pembangkit EBT interminten lagi, mengingat sudah ada PLTB dengan kapasitas 130MW.

3. Jaringan yang lemah dan terisolasi

Walaupun keluaran daya EBT interminten sangat berfluktuasi, namun jika jumlah pembangkit nya banyak dan tersebar luas (secara geografis), daya yang dihasilkan secara agregat akan lebih halus. Pada PLTS, tutupan awan akan membuat daya turun pada titik tersebut, namun di area lain yang cerah tetap menghasilkan daya maksimal. Begitu juga dengan PLTB, dimana angin di satu titik bisa saja sedang lemah, namun bisa diseimbangkan oleh titik lain yang anginnya bertiup kencang. Efek ini kita sebut smoothing (IEA, 2011).

Namun sayangnya, sistem jaringan di Indonesia terisolasi di setiap pulau sehingga efek smooting tidak dapat dimanfaatkan sepenuhnya. Sebagai contoh, ketika area Sumatera tertutup awan dan area Jawa sedang cerah, ekses keluaran daya PLTS di Jawa tidak dapat ditransmisikan ke jaringan Sumatra karena tidak ada interkoneksi antar keduanya. Masing-masing jaringan harus mem-balance variabilitas EBT interminten di daerahnya sendiri. Berbeda dengan jaringan di Eropa dimana interkoneksi antar negara sangat kuat, sehingga mengizinkan penetrasi EBT yang tinggi.

Lemahnya jaringan PLN saat ini juga diindikasikan dengan jumlah gangguan/pemadaman yang terjadi setiap tahunnya. Salah satu contoh yang kita familiar adalah kejadian pemadaman listrik seluruh Jawa pada Agustus 2019. Sistem jaringan Jawa dihubungkan oleh 4 transmisi 500kV yang membentang dari timur ke barat. Pada kejadian tersebut, gangguan pada salah satu transmisi saja dapat berakibat pada gangguan seluruh jaringan dan berakhir menjadi pemadaman seluruh Jawa (Ombudsman, 2019). Belajar dari hal ini, tanpa penguatan sistem jaringan, PLN tentu ragu untuk mengizinkan penetrasi EBT intermiten pada sistem jaringan saat ini.

Penetrasi EBT yang lebih besar dapat dimungkinkan dengan peningkatan sistem jaringan melalui energy storage seperti sistem baterai, demand response, flexible generation, grid flexibility dan smartgrid (ADB, 2021).

Namun demikian, kita perlu bertanya lebih lanjut, apakah PLN memiliki kapasitas finansial yang cukup untuk melakukan investasi tersebut?

FINANSIAL— Krisis Finansial PLN

1. Keuangan PLN yang lemah

Pada faktanya PLN selalu dalam kondisi rugi dimana pendapatan yang diterima lebih rendah dari biaya operasional. Sebesar 95% dari pendapatan PLN bersumber dari penjualan listrik. Namun, seperti yang kita tahu, sejak 2017 tarif listrik (TDL) tidak pernah dilakukan adjustment (Kompas, 2022). Dari sisi biaya, pengeluaran yang didominasi oleh pembelian bahan bakar seperti batubara, gas, dan diesel, terus merangkak naik.

Selisih negatif ini selalu ditutupi oleh subsidi dari pemerintah. Secara artifisial, PLN dijaga tetap “hidup” dengan konsekuensi membengkaknya subsidi yang diambil dari APBN. Berdasarkan laporan keuangan PLN, nilai subsidi terus meningkat dari 46 triliun Rupiah pada 2017 menjadi 74 triliun rupiah pada 2021. Nilai subsidi ini diprediksi akan mencapai 187 triliun Rupiah pada 2030.

Walaupun subsidi diberikan untuk memastikan keterjangkauan harga listrik bagi masyarakat, menurut padangan saya, sistem ini menghalangi kemajuan PLN. Secara tidak langsung, sistem ini tidak mendorong PLN untuk melakukan efisiensi, karena setiap kerugian akan selalu ditalangi oleh pemerintah.

2. Terjebak oleh skema Take-or-Pay dengan IPP

Dari sisi biaya, pengeluaran PLN tidak bisa dikontrol dengan mudah karena terjebak oleh PPA (kontrak jual beli listrik) dengan IPP (pembangkit listrik swasta). PPA mensyaratkan PLN membayar listrik yang diproduksi IPP dengan skema Take-or-Pay (ToP), dimana tarifnya sebesar kapasitas terpasang, terlepas jumlah listrik yang diproduksi.

Skema ini menjadi beban besar bagi PLN karena saat ini jaringan dalam kondisi oversupply. Hal ini mengindikasikan bahwa listrik yang diproduksi tidak sebesar kapasitas terpasang, namun PLN tetap harus membayar penuh kapasitas terpasang oleh IPP. Kondisi oversupply dipicu oleh program percepatan 35GW dimana asumsi demand yang dibuat pada waktu itu terlalu tinggi, namun pada faktanya tidak terealisasi.

Lebih buruk lagi, tarif PPA dikaitkan dengan US dollar sedangkan sedangkan pendapatan PLN bersumber dari Rupiah. Melemahnya rupiah terhadap US dollar tentu semakin membebani PLN.

Perlu menjadi catatan bahwa PLN membuat kesepakatan skema ToP bukan tanpa alasan. Keterbatasan finansial PLN menyebabkan PLN tidak memiliki dana yang cukup untuk berinvestasi membangun fasilitas pembangkit secara mandiri. PPA dengan IPP adalah solusi PLN untuk meningkatkan kapasitas pembangkitan tanpa biaya modal dari PLN. Namun demikian, swasta tidak akan tertarik bekerjasama dengan PLN jika tidak ada jaminan pembayaran jangka panjang dari PLN, dalam hal ini adalah skema ToP.

Kontrak PPA pada umumnya berjangka 25–30 tahun. Artinya, tanpa adanya negosiasi antara PLN dan IPP, kondisi ini akan terus membebani PLN dalam jangka panjang. Asset pembangkit batu bara dan gas akan bertahan hingga 2050, tentu tidak sejalan dengan semangat mitigasi perubahan iklim menuju Net Zero Emission.

Dalam bagan berikut, dapat kita lihat hasil dari program percepatan 35 GW. Dalam kondisi jaringan Jawa-Bali yang oversupply, PLTU berkapasitas besar akan terus dibangun hingga 2030. EBT akan tetap menjadi minoritas dalam komposisi pembangkitan.

Berdasarkan kondisi-kondisi yang disebutkan diatas, saya berpendapat bahwa kondisi tersebut akan menjadi alasan PLN untuk tidak segera mengimplementasikan EBT.

Kesimpulan ini memberikan cara pandang baru terhadap kebijakan-kebijakan energi yang dianggap menghambat EBT. Seperti rendahnya tarif EBT yang dipaksa dibawah biaya pembangkitan (BPP) PLN (IESR, 2017). Dan juga polemik terkait PLTS atap, dimana PLN terkesan menghalangi kemudahan perizinannya (Katadata, 2022). Semua bermuara dari kondisi teknis dan finansial PLN yang tidak siap menyambut EBT.

Akhir kata, saya ingin mengundang saran konstruktif dari pembaca. Dalam kondisi terhimpit, apa yang bisa PLN dan pemerintah benahi?

Referensi:

PLN, 2021, Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik.

ESDM, 2021, https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/ini-strategi-pemerintah-di-sektor-energi-menuju-net-zero-emission

Listrik Indonesia, 2021, https://listrikindonesia.com/apa_reserve_margin_kelistrikan_itu_6928.htm

Katadata, 2022, https://katadata.co.id/happyfajrian/berita/62160d190eedc/proyek-35-gw-masuk-kelebihan-pasokan-listrik-pln-tahun-ini-membengkak

IEA, 2011, https://www.oecd.org/publications/harnessing-variable-renewables-9789264111394-en.htm

PLN, 2021, Grid Code Jawa Madura Bali 2020, https://gatrik.esdm.go.id/assets/uploads/download_index/files/c67cf-materi-gm-p2b.pdf

ADB, 2017, https://www.adb.org/documents/increasing-penetration-variable-renewable-energy-lessons-asia-and-pacific

Ombudsman, 2019, https://ombudsman.go.id/news/r/masih-ingat-mati-listrik-serentak-di-agustus-ini-fakta-investigasinya

IEA, 2018, https://www.iesr.or.id/wp-content/uploads/2019/04/Peerapat-Vithayasrichareon-PhD.pdf

Tumiran, 2021, https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0960148120312908

IESR, 2017, https://iesr.or.id/harga-listrik-energi-terbarukan-tidak-menarik-2

--

--

Danny Kusuma
Danny Kusuma

Written by Danny Kusuma

Affordable energy access for all

No responses yet