Peraturan emisinya aja longgar, warga dikepung polusi, ya wajar ¯\_(ツ)_/¯

Danny Kusuma
5 min readAug 31, 2023

--

Isu polusi udara sedang ramai dibicarakan dan menjadi pusat perhatian masyarakat akhir-akhir ini. Kota Jakarta dan daerah satelit di sekitarnya kerap mendapat ranking nomor satu, sebagai kota paling buruk kualitas udaranya, se-dunia.

Melalui ini artikel ini, saya ingin mengajak pembaca untuk mendalami akar masalah polusi udara di Indonesia. Saya tidak akan memperdebatkan siapa yang salah, mana yang emisinya paling besar, dsb. Melainkan, dari pengalaman saya di dunia professional, saya ingin sharing best practice di negara maju, bagaimana mereka menyelesaikan masalah polusi udara.

Saya akan fokus ke dua sektor, yakni PLTU batu bara dan kendaraan bermotor, sesuai pernyataan bu Menteri LHK sebagai berikut:

“Kendaraan bermotor menjadi sumber utama pencemaran polusi udara di daerah Ibukota DKI Jakarta dan sekitarnya dengan kontribusi sebanyak 44 persen. Selain itu sumber lainnya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sebanyak 34 persen dan sisanya adalah lain lain termasuk dari rumah tangga”. (CNN, 2023)

Polusi udara vs Gas rumah kaca

Mari kita mulai dari yang basic ya. Polusi udara yang kita bicarakan ini berbeda dengan polusi udara penyebab perubahan iklim, yang mana disebabkan oleh emisi gas rumah kaca (GRK). Polusi udara yang sedang ramai dibahas sekarang adalah polutan yang bikin orang sakit (literally) jika menghirupnya (sedangkan menghirup CO2-salah satu GRK aman-aman saja bagi kesehatan).

Polutan yang dimaksud terdiri dari Carbon Monoxide (CO), Nitrogen Dioxide (NO2), Sulphur Dioxide (SO2), Ozone (O3), Timbal (Pb), dan Particulate Matter (PM). Biasanya semua polutan tersebut direpresentasikan dalam satu angka yakni Air Quality Index (AQI). Baca lebih lanjut tentang AQI.

Mengapa polusi udara dari PLTU batubara tinggi?

Akar masalah dari polusi PLTU batubara cukup sederhana. Jika kita telusuri, akan berujung ke standar emisi (atau sering juga disebut “baku mutu gas buang”). Standar emisi ini maksudnya adalah nilai maksimum (SO2, PM, dll) yang boleh dilepaskan ke udara oleh setiap PLTU (biasanya dalam satuan miligram per meter kubik gas buang).

Di Indonesia, standar emisi untuk PLTU batubara masih cukup longgar jika dibandingkan dengan standar internasional. Tidak heran jika polusi yang dirasakan warga di sekitar area PLTU cukup membahayakan bagi kesehatan. Terlebih lagi, sapuan angin bisa membawa polusi ini sampai ratusan kilometer jauhnya.

Bukankah ada teknologi buat menyaringnya?

Betul. Tapi, karena standarnya longgar, jadi yang dipakai oleh PLTU di Indonesia ya seadanya, asal cukup untuk memenuhi peraturan ambang batas emisi.

Gas buang dari cerobong PLTU bisa “bersih” juga kok. Ada 3 sistem yang digunakan untuk “membersihkan” polutan dari gas buang PLTU:

ESP. Eletrostatic Precipitator. Secara sederhana, gas buangnya diestrum sehinnga debu-debunya menempel di dinding pipa. Alhasil, debu halus (particulate matter) sebagian besar tersaring. Baca lebih lanjut.

FGD. Flue Gas Desulfurization. Secara sederhana, gas buang disiram sebuah cairan, sehingga kandungan sulfur dan debu di gas buang larut dalam cairan. Baca lebih lanjut.

SCR. Selective Catalytic Reduction. Secara sederhana, gas buang dilewatkan melalui katalis yang membuat NOx bereaksi menjadi N2 dan H2O, keduanya aman dan kita hirup setiap saat. Baca lebih lanjut.

Sayangnya, PLTU Indonesia baru menerapkan teknologi ESP. Ada beberapa yang sudah memasang FGD, namun untuk SCR belum ada sama sekali. Apa buktinya?

Pernyataan pakar lingkungan: “AMDAL sudah sedemikian rupa mengantisipasi dampak lingkungan. Salah satunya dengan piranti atau alat yang disebut FGD (flue-gas desulfurization). Alat ini sangat mahal, Pak. Bisa mencapai kurang lebih 10% dari biaya investasi. Karena itu, tidak semua PLTU pakai ini” (Tirto, 2017).

Laporan PLN: “Saat ini pemasangan FGD telah dilakukan pada PLTU Tanjung Jati B, kedepannya pemasangan FGD dapat dilakukan pada PLTU batubara lainnya. Kedepan, Perseroan juga merencanakan pemasangan SCR untuk pembangkit existing sehingga dapat memenuhi Permen LHK 15 tahun 2019” (PLN, 2021).

Bagaimana dengan kendaraan bermotor?

Ceritanya tidak jauh beda.

Dalam dunia otomotif, standar emisi yang digunakan secara internasional adalah standar Euro. Setiap beberapa tahun, standar ini diperketat, misalnya Euro 6 (yang sekarang dipakai di Eropa) lebih ketat dari Euro 5. Dalam satu set standar Euro, ada berbagai polutan yang dibatasi, yakni: nitrogen oxides (NOx), total hydrocarbon (THC), non-methane hydrocarbons (NMHC), carbon monoxide (CO) and particulate matter (PM). Baca lebih lanjut.

Berdasarkan peraturan terakhir Menteri LHK, mulai 2017 lalu Indonesia menerapkan standar Euro 4. Ini berarti Indonesia terlambat 12 tahun dalam menerapkan Euro 4! Di Eropa standar ini sudah diterapkan sejak tahun 2005. Menurut saya ini cukup terbelakang mengingat negara tetangga, seperti Vietnam, telah menerap Euro 5 sejak 2022.

Standar longgar + jumlah kendaraan pribadi naik terus = penyumbang terbesar polusi di Jakarta

Sedikit tentang perdebatan kendaraan listrik (EV) vs public transport.

Singkat kata, EV tidak menghasilkan emisi di jalanan. Tapi jika sebagian besar listrik masih dibangkitkan dari PLTU, emisinya berpindah ke PLTU. Bukan berarti EV tidak menjadi solusi, karena kita akan beralih ke energi terbarukan, anyway.

Yang jelas tidak hilang dari EV adalah kemacetannya! Sedangkan public transport, tidak cuma menyelesaikan kemacetan, tapi juga emisinya jauh lebih rendah. Sekali mendayung, 2 isu terselesaikan.

Dibikin peraturan juga ngga dipatuhi → Pentingnya penegakan dan transparansi.

Pembuatan peraturan itu mudah. Secara teori, pembuatan peraturan hanya perlu seorang pejabat menuliskan dalam secarik kertas dan kemudian disahkan. Walaupun pada kenyaatannya di lapangan, banyak pihak yang melobi pemerintah untuk menunda pengetatan standar emisi, mulai dari perusahaan otomotif, industry, dan pembangkit. Pihak-pihak tersebut dirugikan karena ongkos produksinya naik jika harus memasang teknologi yang lebih rendah emisi.

Pembuatan peraturan itu satu hal, implementasi itu yang menentukan dan sering kali menjadi bottleneck. Bisa dibayangkan, berapa jumlah PNS yang harus dipekerjakan untuk mengecek dan mengaudit emisi dari seluruh pabrik dan kendaraan di Indonesia?

Kementerian LHK sudah mulai mewajibkan industri untuk memasang Continuous Emissions Monitoring System (CEMS). Rencananya, CEMS setiap industri akan dihubungkan ke sistem di kementerian. Sayangnya, belum ada data yang bisa diakses publik sehingga masyarakat belum bisa turut memantau. Baca lebih lanjut.

Menurut saya, transparansi adalah kunci penegakan bisa berhasil. Kita bisa meniru practice di negara maju dimana industri / pembangkit wajib menunjukkan emisinya ke publik, contohnya via papan emisi di depan pintu gerbang.

Ayo kita dorong! Bukan rocket science kok, sudah banyak contoh pula.

Masalah polusi udara bisa diselesaikan, dan sudah diselesaikan di negara maju.

Mereka menyelesaikannya melalui tragedi, sebelum perubahan terjadi. Jangan sampai Indonesia seperti ini.

Jika mau lihat painful example, bisa pelajari sejarah revolusi industri di Inggris, atau bisa lihat yang baru-baru ini terjadi: tragedy smog di Cina.

Ga mau kan kejadian seperti ini juga? Yok kita dorong perubahan!

--

--

Danny Kusuma
Danny Kusuma

Written by Danny Kusuma

Affordable energy access for all

No responses yet