Power Wheeling dan PLN: Mungkinkah Ada Jalan Tengah?
Ini adalah tulisan saya yang ketiga tentang power wheeling. Ya, topik ini memang semakin hangat dibahas belakangan ini, sampai membuat saya makin tertarik untuk menggali lebih dalam. Harapannya, tulisan ini bisa memberikan sudut pandang baru — terutama dalam melihat apa sih sebenarnya isu inti dari power wheeling, dan bagaimana kita bisa menemukan solusi jalan tengah yang menguntungkan semua pihak.
Kenapa Power Wheeling Itu Penting?
Sebelum kita melangkah lebih jauh, yuk, samakan dulu frekuensi. Mungkin ada di antara kita yang bertanya-tanya, “Kenapa sih power wheeling perlu dibahas? Apa hubungannya dengan percepatan Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia?”
Ceritanya begini. Saat ini, PLN sedang menghadapi tantangan besar — mereka kekurangan kapasitas finansial untuk mendanai transisi energi. Dengan target ambisius menuju Net Zero Emission (NZE) di 2060, butuh investasi yang luar biasa besar dalam waktu yang relatif singkat. Bayangkan saja, untuk mencapai target 23% bauran EBT di 2025, kita butuh investasi sebesar 560 triliun rupiah hanya untuk pembangkit EBT saja! (ESDM, 2019). Jadi, kalau kita hanya mengandalkan PLN, pencapaian NZE bisa jauh dari harapan.
Di sisi lain, ada permintaan besar dari sektor bisnis untuk listrik bersih, yang bebas emisi dan berasal dari EBT. Banyak perusahaan sudah punya target internal untuk mencapai NZE. Tapi, PLN belum bisa memenuhi kebutuhan itu sepenuhnya, karena mayoritas pembangkitnya masih mengandalkan bahan bakar fosil.
Nah, di sinilah power wheeling muncul sebagai jembatan. Melalui skema ini, pihak swasta diizinkan menjual listrik EBT langsung ke konsumen, tapi tetap memanfaatkan jaringan transmisi PLN. Investor tidak harus menjual listrik dengan harga rendah seperti di skema Biaya Pokok Penyediaan (BPP), tapi bisa sesuai dengan kesediaan konsumen membayar (willingness to pay). Dari sisi pemerintah, ini bisa membuka pintu investasi dan membantu mencapai target pengurangan emisi.
Tidak Semua Isu Perlu Dicari Solusi
Tentu, ada banyak perdebatan yang muncul dari usulan power wheeling. Tapi, menurut saya, nggak semua argumen perlu didiskusikan panjang lebar. Beberapa contoh argumen yang sering muncul misalnya:
- “Sektor listrik tidak boleh diserahkan ke swasta.” Padahal, faktanya, kita sudah punya skema IPP di mana swasta boleh punya pembangkit. Kita juga sudah ada skema captive power, yang memungkinkan swasta menghasilkan listrik sendiri untuk memenuhi kebutuhan bisnisnya. Ada juga wilayah usaha, yang memberikan konsesi kepada perusahaan tertentu untuk menjual listrik langsung ke konsumen di beberapa daerah, setara dengan PLN.
- “Power wheeling akan mengarah ke liberalisasi sektor listrik dan mengancam stabilitas suplai.” Sebenarnya, banyak negara maju yang sektor listriknya sudah sepenuhnya liberalisasi, dan mereka tetap memiliki suplai listrik yang stabil. Mereka punya kebijakan untuk menjaga agar masyarakat tetap bisa mendapatkan listrik dengan harga terjangkau, meskipun harga listrik naik-turun.
Masalah Utama yang Perlu Diselesaikan: Skema Bisnis
Sekarang, mari kita bahas masalah krusial dari power wheeling. Setelah berbicara dengan beberapa rekan yang juga mendalami isu ini, saya menemukan ada dua masalah utama yang bisa menjadi penentu apakah power wheeling bisa berjalan efektif dan memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat.
Masalah #1: Power Wheeling Menggerus Pangsa Pasar PLN
Salah satu kekhawatiran yang sering muncul adalah bahwa power wheeling akan mengurangi pangsa pasar PLN. Dengan adanya izin bagi swasta untuk menjual listrik langsung ke konsumen, saya setuju bahwa ini memang isu yang valid. Bagi mereka yang mendukung liberalisasi, situasi ini mungkin lebih dilihat sebagai tantangan — ujian bagi PLN untuk membuktikan apakah mereka bisa tetap kompetitif, efisien, dan memberikan performa yang lebih baik saat harus bersaing dengan perusahaan lain.
Namun, mari kita realistis. Sebagai negara berkembang, kita masih punya segmen masyarakat yang sangat bergantung pada listrik murah. Di sinilah PLN dengan kontrol monopoli bisa memainkan perannya dalam subsidi silang. Keuntungan yang diambil dari segmen premium, seperti rumah tangga menengah ke atas dan sektor bisnis, bisa dialihkan untuk membantu elektrifikasi di daerah terpencil atau kepulauan yang masih sulit dijangkau listrik. Di beberapa daerah, biaya produksi listrik bisa mencapai 10–20 ribu rupiah per kWh — jauh lebih tinggi dibandingkan Tarif Dasar Listrik (TDL) yang ditetapkan pemerintah.
Masalah #2: PLN Hanya Dapat TDL, Swasta Dapat Harga Premium — Tidak Fair Bagi PLN
Sekarang, coba kita tempatkan diri di posisi PLN. Meskipun PLN memiliki monopoli, mereka sebenarnya tidak punya kendali penuh atas harga listrik yang dibebankan kepada masyarakat — harga itu ditentukan oleh pemerintah. Di sisi lain, dengan skema power wheeling, pihak swasta bisa melakukan negosiasi langsung (B-to-B) dengan konsumen industri dan mendapatkan harga listrik yang jauh lebih tinggi dibandingkan TDL. Jika melihat PLN sebagai perusahaan dengan orientasi profit, situasi ini jelas terasa tidak adil.
PLN dipaksa untuk menjual listrik dengan harga yang diatur pemerintah, sementara swasta bisa bermain dengan harga premium. Ini ibarat pertandingan yang berat sebelah, di mana PLN tidak memiliki kebebasan yang sama untuk menentukan harga jual mereka.
Masalah #3: Jika Tarif Konsumen (TDL) Diatur, Power Wheeling Kurang Menarik untuk Swasta
Isu ini mungkin belum banyak dibicarakan, tapi sangat penting. Bayangkan ketika terjadi negosiasi jual beli listrik dalam skema power wheeling. Misalnya, sebuah perusahaan industri membuka tender untuk suplai listrik EBT. Beberapa investor tertarik dan ikut serta dalam tender. Semua pengaju penawaran memberikan harga listrik yang lebih tinggi karena listrik EBT biasanya lebih mahal.
Namun, masalahnya, perusahaan industri punya patokan harga berdasarkan TDL, yang jauh lebih murah. Tidak ada investor yang bisa menawarkan harga listrik EBT mendekati angka itu, jadi tidak ada satu pun proyek power wheeling yang bisa berjalan. Dalam kondisi ini, daya tarik power wheeling bagi swasta menjadi minim, karena mereka akan kesulitan menyesuaikan harga EBT dengan standar harga TDL.
Proposal Solusi: Mencari Jalan Tengah
Setelah berbincang dengan beberapa kolega yang ahli di bidangnya, saya semakin yakin bahwa solusi terbaik untuk power wheeling adalah solusi yang bisa menjembatani kepentingan semua pihak — solusi jalan tengah yang menguntungkan semua stakeholder. Mari kita coba merumuskan beberapa solusi yang mungkin bisa diterapkan, tentu dengan mempertimbangkan konteks lokal di Indonesia.
Solusi #1: Prioritisasi Regional untuk Power Wheeling
Salah satu kekhawatiran terbesar adalah bahwa power wheeling bisa mengganggu subsidi silang yang dilakukan PLN. Bagaimana kalau kita memprioritaskan skema ini untuk daerah-daerah tertentu di mana PLN masih kesulitan memenuhi kebutuhan listrik, misalnya di daerah 3T (terdepan, terpencil, dan tertinggal)?
Kita bisa membuat kebijakan yang lebih fleksibel, di mana power wheeling diprioritaskan untuk daerah-daerah tersebut. Misalnya, biaya wheeling (penggunaan jaringan transmisi PLN) di wilayah Jawa-Bali bisa dibuat lebih tinggi untuk membatasi partisipasi swasta. Sedangkan di daerah-daerah prioritas, biaya wheeling ini bisa didiskon atau bahkan digratiskan, karena ini akan membantu PLN mempercepat elektrifikasi di daerah tertinggal.
Selain itu, kita juga bisa memetakan segmen konsumen yang menjadi prioritas untuk power wheeling. Dengan cara ini, kita bisa memberikan ruang bagi PLN untuk tetap menjalankan fungsinya tanpa terganggu oleh persaingan swasta di segmen yang lebih sensitif.
Solusi #2: Penentuan Harga Power Wheeling dengan REC/Carbon Price
Setelah mendalami isu ini, saya menyadari bahwa tidak mungkin ada skema privatisasi jika tarif listrik tetap diatur pemerintah. Melepaskan harga listrik ke pasar memang solusi yang ekstrem dan berisiko menimbulkan gejolak sosial dan ekonomi. Jadi, saya mengusulkan solusi middle ground di mana harga listrik dalam skema power wheeling disusun berdasarkan perhitungan harga karbon atau sertifikat energi terbarukan (Renewable Energy Certificate, REC).
Dalam skema ini, tarif dasar listrik (TDL) tetap berada di bawah kendali pemerintah, tetapi harga untuk listrik dari EBT bisa dilepas ke pasar. Artinya, harga EBT bisa dinegosiasikan secara B-to-B antara investor dan konsumen industri. Ini bisa didasarkan pada harga karbon atau faktor-faktor lain yang mendukung energi bersih. Dengan cara ini, PLN pun tetap bisa berpartisipasi dalam menjual listrik EBT kepada konsumen industri dengan harga premium.
Yang perlu digarisbawahi, agar skema ini berhasil, PLN tidak boleh memonopoli sertifikat REC atau kredit karbon. Sertifikat ini harus menjadi hak dari pembangkit listrik dan konsumen, bukan PLN sebagai pemilik jaringan transmisi. Dengan begitu, semua pihak memiliki kesempatan yang adil.
Solusi #3: Segmentasi Pasar Tenaga Listrik
Ini adalah solusi jangka panjang yang perlu mulai dipersiapkan dari sekarang. Kita tahu bahwa subsidi listrik terus menjadi beban yang berat bagi pemerintah, dengan anggaran negara yang sering kali tidak cukup untuk menanggungnya.
Ke depan, sektor listrik perlu melakukan segmentasi pasar agar subsidi lebih tepat sasaran. Subsidi harus difokuskan untuk masyarakat yang benar-benar membutuhkan, seperti mereka yang masih menggunakan meteran 450 VA. Sementara itu, segmen masyarakat menengah ke atas, serta sektor bisnis dan industri non-kritis, bisa menerima harga listrik yang lebih fluktuatif dan mungkin lebih tinggi.
Segmen ini sangat cocok untuk implementasi power wheeling atau skema lainnya yang memungkinkan partisipasi swasta, baik dalam pembangkitan maupun distribusi. Hal ini bukan mustahil — kita sudah punya contoh dari sektor migas. Di era Presiden SBY, Indonesia sangat tertekan oleh subsidi BBM, dan pemerintah memutuskan untuk membatasi subsidi hanya bagi segmen tertentu. Saat ini, bahan bakar seperti solar dan pertalite dibatasi untuk kelas tertentu, sementara bahan bakar dengan kualitas lebih baik dilepas ke mekanisme pasar.
Lihat saja hasilnya, tidak hanya Pertamina yang masih berdiri kokoh, tetapi juga SPBU seperti Shell dan BP hadir di pasar Indonesia. Apakah ini merugikan Pertamina? Tentu tidak. Bahkan Pertamina tetap mencatatkan keuntungan dan bersaing di pasar global, sementara pemerintah berhasil mengurangi beban subsidi BBM.
Penutup
Bagaimana menurut Anda? Apa isu utama dalam penerapan power wheeling? Dan apakah solusi yang ditawarkan di atas memungkinkan untuk diterapkan? Mari kita terus berdiskusi dan mencari solusi yang benar-benar bisa membawa manfaat bagi semua pihak.